1. Masalah Sosial Kemiskinan :
Tulisan
ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang latar belakang terjadinya
kemisikinan di Indonesia secara umum dan kota Jakarta secara khususnya, dan
upaya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus pula untuk meningkatkan
kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin.
Pendekatan
konvensional yang paling popular dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah adalah menggusur pemukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan
perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering
disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk
menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan
dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi
tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut.
Menggusur secara paksa adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi
lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak akan pernah berkurang. Bagi orang yang
tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka
karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi pemukimannya yang baru dan
penggusuran secara paksa bahkan sampai dengan adanya unsure anarkisme itu
adalah melanggar hak asasi manusia yang paling hakiki dan harus dihormati
bersama.
Di
Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun 1950
dan 1960-an.2Pada saat itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di
pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap
lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih
baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan
masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan
karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan
kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli perkotaan
saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti kemiskinan
perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas. Menyadari kesalahan
yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kota-kota di Amerika Serikat
lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan
tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau
diIndonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di Jakarta
yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan sembari
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat ditemui
di Indonesia’s Urban Studies, masyarakat di
Penjaringan, Jakarta Utara dan masyarakat kampung Toplang di Jakarta Barat
mereka mengelola sampah untuk dijadikan kompos dan memilah sampah nonorganik
untuk dijual.
Aktivitas
hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program Lingkungan Sehat
Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps Indonesia. Masyarakat
miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak intervensi dari Mercy
Corps Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas
lingkungan kumuh di Penjaringan. Masyarakat di Penjaringan sangat antusias
untuk melakukan kegiatan ini dan mereka yakin untu mampu mendaurlang sampah di
lingkungannya dan menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan
berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungannya.
Cara
untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman
masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran hanyalah
menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan pelik. Penggusuran
atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota adalah cara yang tidak
berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas
hijau3seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung
Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan
kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan. Masyarakat
miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti
diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk
mengatasi kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah pemberdayaan masyarakat
miskin dan bukanlah penggusuran.
Lain
lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi masyarakat
Flores kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam berbagai aspek dan
bentuk kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan yang pelik dan
serius. Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya dan menemukan solusi
pengentasannya bagai mengurai benang kusut yang sangat rumit untuk
diselesaikan.
Secara
alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini tidak
dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim
panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan keadaan geografis
Flores yang tergolong rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar belakang
ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi masyarakat Flores sudah bisa diukur.
Hampir sebagian besar masyarakat Flores bertani secara musiman, dan amat
tergantung pada hasil pertanian jangka panjang. Sementara yang menetap di
pesisir pantai menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini
dapat diukur kemampuan ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita sangat
rendah dan masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan
kemiskinan Flores dari latar belakang geografis dan juga topografis masih
terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk mengelak dari keadaan
yang demikian, separuh kaum muda baik laki-laki maupun perempuan.
2. Masalah Sosial Pendidikan :
Dari
satu siaran press Institut Pertanian Bogor (IPB) yang
saya baca waktu itu, Profesor Maman Djauhari (dosen Mathematika, Intitut
Teknologi Bandung) mengatakan dalam salah satu konferensi
internasional di IPB bahwa dari sekitar 2500 perguruan tinggi di Indonesia
hanya ada 8 perguruan tinggi yang memiliki Jurusan atau Departemen Statistika.
Wouw, kurang dari satu persen. Mungkinkah ini salah satu penyebab lemahnya
penelitian di Indonesia?
Sebenarnya
apa sih yang terjadi, dan mengapa sampai jurusan statistika kurang diminati?
Bagaimana dampak kekurangan minat pada bidang statistik ini dalam kehidupan
masyarakat? Semua itu muncul dalam benak saya sehabis membaca informasi dalam
siaran press itu.
Teringat
pada waktu kuliah dulu, ada seorang mahasiswa yang tidak naik kelas di tahun
kedua. Orang tua sang mahasiswa menulis surat ke Rektor IPB yang dibacakan oleh
beliau di depan kelas. Surat itu pada dasarnya mempertanyakan mengenai anaknya.
Katanya anak saya itu pandai, kenapa dia tidak naik kelas? Kan “Statistik
kerjanya hanya menghitung angka, masak anak saya nggak mampu berhitung”.
Masalah ini ditanggapi cukup serius waktu itu, karena untuk meluruskan
pandangan orang tentang Statistik.
Sudah
bukan rahasia lagi bahwa pelajaran Statistik adalah momok bagi mahasiswa. Tidak
hanya di Indonesia di Amerika pun sama saja, sehingga banyak yang menghindar
untuk mengambil matakuliah Statistik kalau memungkinkan. Hal ini bukan
karena tingkat kesulitan dari mata pelajaran Statistik itu sendiri tetapi “image”
yang berkembang sebelumnya sudah menakutkan. Pada waktu saya mengambil
matakuliah Statistics Theory, waktu pelajaran kepala 4000 an
(untuk Undergraduate Senior, dan Master) masih sekitar
15 orang per kelas mahasiswanya. Kelas 5000 an (untuk Master dan PhD) turun
menjadi sekitar 10, dan kelas 6000 an (khusus untuk PhD) hanya tinggal 3 orang.
Siapa yang mau mengambil kelas yang isinya hanya tiga orang, belum lagi kalau
dosennya galak? Tentunya kelas ini diambil hanya karena diwajibkan. Untuk
kelas-kelas Statistik Terapan jumlah mahasiswanya memang sangat bervariasi
karena ada semacam keharusan bagi mahasiswa PhD Program di
hampir semua jurusan untuk mengambil kelas Statistik Terapan. Kelas-kelas teori
biasanya didominasi oleh mahasiswa yang berasal dari Asia. Terlihat sekali
memang kalau orang-orang Amerika sendiri agak kurang berminat pada jurusan ini.
Jangan tanya bagaimana saya bisa menarik inference seperti ini
karena saya tidak bisa membuktikannya secara empirik.
Ilmu
Statistik itu muncul sebenarnya karena kita semua punya keterbatasan.
Keterbatasan dalam arti waktu, biaya, sumber daya manusia dll. Selain itu
kalaupun kita tidak mempunyai keterbatasan dan bisa melakukan sensus, ada
populasi tertentu yang hampir tidak mungkin kita hitung rata-ratanya.
Contohnya, bagaimana kita menghitung rata-rata usia orang Indonesia secara
tepat. Setiap menit ada yang lahir dan ada yang meninggal, setiap hari ada yang
keluar dan ada yang masuk ke Indonesia, ada pula yang tidak mau dirinya
dihitung dst. Jadi hampir tidak mungkin kita bisa menghitung rata-rata usia
orang Indonesia secara tepat. Disinilah perlunya statistik.
Istilah-istilah seperti sample, survey, standard error misalnya,
semuanya memperlihatkan bagaimana dengan keterbatasan yang ada kita bisa
melakukan inferenceinference yang tepat pula. Bagaimana
memilih alat ini adalah suatu seni. yang mendekati kebenaran. Jadi kalau
dilihat statistik adalah suatu alat yang kalau digunakan untuk situasi yang
tepat akan menghasilkan
Mungkin
ada contoh menarik yang sangat popular di sini, sewaktu ada mahasisiwa yang mau
meneliti mengenai kebiasaan minum minuman keras dari kalangan mahasiswa secara
umum. Mahasiswa tersebut lalu mengambil samplenya di
pintu library kampus Community College di
malam hari. Dia mengambil sample setiap orang yang keluar
dari library pada malam itu. Hasilnya bisa di duga akan sangat
bias karena sample yang diambil hanya dari pengunjung Community
College Library, tidak memasukkan mahasiswa dari regular 4 years
College. Karena penelitian dilakukan di malam hari, kemungkinan besar
mahasiswanya berusia lebih tua dari rata-rata mahasiswa regular dan
biasanya sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan yang paling penting secara
umum mahasiswa yang ke library pada malam hari kecil kemungkinannya adalah juga
peminum yang kuat. Jadi bisa diduga kesimpulan dari survey ini sangat bias
karena sample yang diambil tidak representatif.
Kelemahan
di bidang penelitian di Indonesia terlihat pada saat pemerintah ribut masalah
penemuan padi yang sekali tanam bisa panen tiga kali. Biasanya setelah panen
sawah dibersihkan, diolah lagi dan untuk musim tanam berikutnya ditanam bibit
yang baru. Dalam hal padi yang di temukan ini setelah panen, sawah dibiarkan
sehingga bibit baru tumbuh dari bekas panen sebelumnya. Tujuannya agar petani
tidak perlu membeli bibit lagi. Sebelum di lempar ke masyarakat harusnya
pemerintah tahu kalau sifat penelitian seperti itu adalah repeatable,
dalam arti kalau diulang dalam kondisi yang sama akan mengeluarkan hasil yang
sama. Ternyata setelah dipasarkan, ditanam oleh petani didaerah lain gagal
menghasilkan hasil yang sama dengan yang dijanjikan. Terlihat bahwa pemerintah
tidak terlalu perduli dengan statistik. Jika perduli tentunya sebelum benih
dari padi ini dilempar ke masyarakat, mereka akan melakukan penelitian kembali
dengan kondisi yang berbeda, lokasi yang berbeda dst. Dan apakah akan
memberikan hasil yang sama?
Untuk
hal ini alangkah baiknya melibatkan orang yang mengetahui lebih dalam
tentang experimental design sehingga designpenelitiannya
lebih baik dan hasilnya lebih meyakinkan.
Banyak
yang bisa dilakukan kalau kita familiar dengan statistik. Yang paling penting
adalah kita bisa menjadi lebih berhati-hati kalau membaca kesimpulan dari suatu
penelitian. Misalnya pada waktu UUP akan di undangkan, ada salah satu badan
yang mengadakan jajak pendapat (maaf, lupa nama badannya). Kesimpulan yang di
peroleh adalah sebagian besar masyarakat Indonesia menyetujui RUUP ini. Begitu
membaca, pertanyaan yang muncul tentunya adalah bagaimana jajak pendapat (opinion
polls) ini dilakukan. Lalu apakah sample yang
diambil sudah representatif, lalu berapa besarsample-nya dan masih
banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Coba misalnya kita ganti lokasi
samplenya dengan sample yang berasal dari daerah Bali atau Papua, apakah
kesimpulannya akan tetap sama? Terlihat bahwa betapa berbahayanya kalau
salah menyimpulkan, dan kesimpulan itu digunakan untuk kebijaksanaan
pemerintah. Contoh lain dalam bidang pemasaran yang pernah saya temui adalah
ada perusahaan yang hampir bangkrut karena kesalahan dalam pengambilan
keputusan. Hasil survey yang diperoleh perusahaan itu
mengatakan kalau permintaan bahan bangunan tertentu sedang tinggi.
Perusahaan tersebut lalu mengimpor bahan-bahan bangunan tersebut
sebanyak-banyaknya, yang ternyata tidak laku terjual. Ternyata survey tersebut
tidak validsehingga kesimpulannya salah.
Ini
sekedar beberapa contoh, yang mengungkapkan minat dan pengamatan saya pada
bidang kesukaan saya ini. Semakin saya mengutak-atik terutama
aplikasinya, terasa Statistik semakin menarik. Mudah-mudahan suatu saat
statistik tidak lagi merana karena selalu dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan,
dan besar harapan saya, semoga pengambilan keputusan baik di perusahaan maupun
pemerintahan akan semakin baik dengan penguasaan statistik yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar